Di Asia, bursa saham China mencatatkan penurunan tajam. Mata uang China yuan alami pelemahan terdalam dalam dua tahun. Hal ini menguji kemampuan pemerintah untuk meredam kekhawatiran investor.
Pemerintah China baru rilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2018. Ekonomi China tumbuh 6,5 persen pada kuartal III 2018, dan melambat dari yang diperkirakan sekitar 6,6 persen.
Dari sentimen internal, rilis data ekonomi pengaruhi laju IHSG. Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan pada September. Tercatat surplus neraca dagang USD 230 juta pada September dibandingkan perkiraan defisit USD 500 juta. Ekspor dan impor cenderung melambat.
Sentimen lainnya yaitu pemerintah menetapkan kenaikan upah minimu provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen. Angka tersebut berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian hingga akhir September 2018, penerimaan pajak tumbuh 16,5 persen dan belanja pemerintah naik 16,1 persen. Defisit anggaran tercatat Rp 200,2 triliun atau 1,35 persen dari produk domestik bruto (PDB) per 30 September 2018 dibandingkan periode sama tahun lalu defisit Rp 272 triliun.
Pemerintah perkirakan defisit anggaran sekitar 1,83 persen-2,04 persen terhadap PDB pada akhir 2018 atau lebih rendah dari target sekitar 2,19 persen.
Lalu hal apa yang dicermati ke depan?
Salah satu yang dicermati Ashmore terkait dampak suku bunga. Tingkat bunga acuan makin tinggi, Ashmore melihat dampaknya relatif tidak terlalu signifikan terhadap pasar obligasi.
Namun, ada sejumlah faktor yang masih mempengaruhi investasi. Hal itu antara lain suku bunga dan siklus inflasi belum mencapai puncak, pergerakan rupiah masih berfluktuasi, ketidakpastian dari perang dagang dan suku bunga bank sentral AS. "Di tengah ketidakpastian, diversifikasi jauh lebih tepat dibandingkan menaruh investasi dalam satu keranjang," tulis Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
No comments:
Post a Comment